SEBUTAN SATU HARI RAYA ISLAM YANG DILAKUKAN DUA KALI

Baik Idul Fitri demikian Idul Adha wajar jika pelaksanaannya kadang berbeda hari/tanggal miladia dalam pelaksanaannya dikalangan kaum muslimin. Penyebabnya adalah berkembangnya secara subur dua istilah yang sangat mendasar dijadikan alasan dasar  pelaksanaan dua hari raya tersebut yakni:   

Hisab, secara harfiah, hisab bermakna perhitungan. Dalam dunia Islam istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi matahari menjadi penting karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu shalat. Sementara posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender Hijriyah. Hal ini penting terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat muslim mulai berpuasa, awal Syawal saat muslim melakukan shalat (Idul Fithri), serta awal bulan  Dzulhijjah saat jamaah haji wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah) dan Idul Adha (10 Dzulhijjah).

Dalam Al-Qur'an surat Yunus (10) ayat 5 dikatakan bahwa Tuhan memang sengaja menjadikan matahari dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Juga dalam Al Qur'an surat Ar-Rahman (55) ayat 5 disebutkan bahwa matahari dan bulan beredar menurut perhitungan.

Rukyatul Hilal, Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari, sabda Rasulullah Saw.

Jika mendung (sehingga kalian tidak bisa melihat hilal), maka sempurnakanlah bilangan  bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan, “Tanyakanlah pada ahli hisab”. Hikmah kenapa mesti menggenapkan 30 hari adalah supaya tidak ada peselisihihan di tengah-tengah mereka.

Kriteria ini berpegangan pada Hadits Nabi Muhammad Saw. : “Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika hilal itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika ada dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.”

Dengan alasan singkat di atas, maka Insya Allah nampaknya lebih menyenangkan dan sewajarnya jika terjadi pelaksanaan satu hari raya dengan dua waktu yang berbeda hari dan tanggal miladianya, maka disebut sebagai akibat dari berbedanya hasil hisab dengan hasil rukyat, sehingga ahlil hisab melaksanakan shalat idul fitri atau idul adha yang berbeda dengan ahli rukyat, maka hal ini bukan masalah Muhammadiyah dengan yang bukan Muhammadiyah.

Semoga.

Komentar